Cari Artikel Disini

Kisah Babu Bugil di Paris, Anna the Javanese

IkadaNews - Menyambut Hari Ibu 22 Desember, tulisan ini adalah tribute bagi jutaan “Anna the Javanese” di Indonesia. Yaitu kaum ibu dan perempuan terpinggirkan.


Maaf, istilah babu di sini bukan bermaksud tak hormat. Sekarang ini kata “babu” kedengaran kasar. Namun di abad lampau, istilah “baboe” (ejaan aslinya) masih lazim. Penyebutan untuk kategori profesi. Bukan hanya pribumi, orang Belanda pun menyebut kata ini sebagaimana aslinya. Padanan kata yang lebih halus, yaitu “pembantu rumah tangga” ketika itu belum dikenal. Hingga kini masih banyak orang Belanda belum tahu, ada sinonim lain menggantikan kata “baboe”. Masih sering saya dengar kata itu dalam percakapan dengan orang Belanda. Saya lalu koreksi, “Jangan bilang 'babu'. Kata itu tidak sopan. Juga sudah arkais”. Lalu mereka mengangguk mengerti dan minta maaf. Ya, bahasa juga bisa mengalami pergeseran.
Kisah ini bermula di Paris abad 19, tahun 1893. Gadis pendatang dari Jawa itu duduk bugil. Ia berpose dengan monyet kecil di sampingnya. Dengan monyet kesayangannya, gadis itu kadang menari telanjang di hadapan tamu-tamu Paul Gauguin, pelukis Perancis kelas dunia.

 Paul Gauguin pelukis tersohor dari Paris itu, juga teman (sekaligus saingan) pelukis beken Vincent van Gogh asal Belanda. (Sebagai catatan, Gauguin dan Van Gogh pernah dua bulan tinggal serumah di Arles, Perancis untuk melukis bersama. Namun pisah ketika persaingan keduanya semakin menajam dan sering bertengkar. Bahkan, telinga Van Gogh yang terpotong itu, belakangan diduga oleh ilmuwan Jerman, akibat sabetan pedang Gauguin setelah perkelahian antara keduanya. Namun dugaan ini belum bisa dibuktikan. Van Gogh akhirnya meninggal karena bunuh diri akibat depresi).
Di hadapan pelukis besar dunia dan legendaris itu, Anna gadis dari Jawa itu duduk sebagai modelnya. Mungkin saat itu Anna tak menyadari sesuatu. Yaitu, ia sedang dilukis oleh seorang pelukis besar yang terkenal di seluruh dunia. Paul Gauguin adalah nama yang dikenal para seniman lukis, utamanya akademisi seni rupa. Nama Gauguin tercatat sebagai pelukis berpengaruh, pionir aliran post-impressionist, selain sebagai pematung dan pemahat.
Kulit Anna yang gelap, membuatnya tampak eksotis. Gauguin kecantol dan menjadikannya model lukisnya. Penampilan fisik Anna cocok dengan selera dan obsesinya akan seni etnis, termasuk seni dari timur.
Paul Gauguin menyapukan kuas di atas kanvas. Lukisan yang dibuatnya itu, tanpa disadarinya, kelak menjadi koleksi berharga dunia seni rupa di Eropa. Model yang telah ikut mewarnai legenda seni di Perancis bahkan dunia itu, duduk di hadapannya. Bukan seorang selebriti dengan parfum wangi. Tapi seorang “baboe” dan pelacur jalanan tak dikenal.
Sebelumnya, tahun 1891 Gauguin pernah ke Tahiti dan, akhirnya, kembali ke Paris dua tahun kemudian. Di sana, ia banyak melukis wanita Tahiti. Sejak perceraiannya dengan wanita Denmark, tampaknya Gauguin sangat tertarik pada wanita kulit berwarna. Tanpa ragu, dijadikannya Anna yang datang dari Jawa itu sebagai obyek lukisnya.
Sekarang, lukisan itu telah selesai. Paul Gauguin menatap hasilnya. Gayanya sebagai pelukis post-impressionist terlihat jelas di kanvas itu. Tarikan garisnya tegas mirip sketsa. Percampuran warnanya sederhana namun terang, menyala dan kuat. Ada sentuhan fauvisme pada banyak lukisannya.
Paul Gauguin, bukan “tukang” lukis yang sekedar memindahkan obyek nyata secara tumpek blek persis ke dalam kanvasnya. Gauguin mampu menampilkan ciri magis primitif dan eksotisme etnis dalam setiap karyanya. Gayanya yang ekspresif, tampak pada garis dan warna lukisannya.

Gauguin memberi judul lukisan yang baru diselesaikannya itu, “Anna the Javanese”. Seakan tidak cukup mengatakan Anna saja. Masih perlu ditegaskan, ini “Anna Jawa”, lho! Secara fisik, Anna memang tampak begitu “Jawa”. Namun Gauguin memperkirakan mungkin Anna berdarah campuran Jawa Belanda. Anna dibawa ke Paris oleh seorang penyanyi opera.
Melihat lukisan Anna the Javanese itu, seakan menjawab pertanyaan, “Siapa model telanjang pertama dari Indonesia yang tampil di pentas seni dunia?” Boleh jadi jawabnya adalah Anna, gundik pelukis dunia Paul Gauguin.
Umur Anna diperkirakan 17 tahun. Mungkin lebih muda dari itu. Bahkan tak sedikit literatur menyebut mungkin umur Anna ketika itu masih 13 tahun. Bisa jadi demikian. Di jaman itu belum ada kontrol ketat tentang perlindungan bagi anak-anak di bawah umur. Termasuk jika sang anak bekerja sebagai pelayan, pelacur...bahkan juga menjadi gundik! Begitulah yang terjadi pada Anna.
Tadinya, Anna bekerja di flat Gauguin sebagai pelayan. Ada yang menyebut, sebelumnya Anna adalah pelacur jalanan. Lalu ditemukan oleh dealer yang menjual karya-karya Gauguin. Diperkirakan, Anna ditemukan di rumah bordil di Montmartre, Paris.
Setelah tinggal bersama Gauguin, Anna kemudian lebih dikenal sebagai gundik sang pelukis. Gauguin gemar mendekorasi flat-nya, bahkan dirinya sendiri dengan semua yang serba etnis. Boleh jadi, Anna dianggapnya juga bagian dari dekorasi etnis itu. Disebutkan dalam beberapa literatur, Gauguin dengan bangga memamerkan Anna ke lingkungan pergaulannya. Bahkan mengajak Anna bersama-sama ke Inggris.


Hubungan antara keduanya terbilang singkat. Ketika keduanya bersama berangkat ke Inggris, Gauguin terlibat perkelahian dengan sekelompok pelaut. Akibatnya ia mengalami patah kaki. Selama diopname di rumah sakit, Anna kembali sendirian ke flat Gauguin. Disebutkan, Anna menguras benda-benda berharga dari flat pelukis itu, lalu kabur. Sejak itu, Anna tak pernah terdengar lagi kabarnya. Gauguin sendiri akhirnya meninggal dalam kesepian, di usia 55 tahun (1903). Sendirian dan dalam kondisi didera penyakit syphilis di gubuk kayunya di pulau Marquesas, Tahiti- French Polynesia.
Tak banyak literatur yang mengungkap latar belakang Anna. Hanya disebutkan berasal dari Jawa, dan dibawa ke Paris oleh seorang wanita penyanyi opera. Jika melihat latar belakang ini, maka bisa jadi ketika itu Anna dipekerjakan sebagai “babu laut”. Di abad lalu, “babu laut” adalah sebutan bagi pelayan pribumi yang dibawa oleh penumpang asing untuk melayani mereka selama pelayaran. Karena di jaman itu pelayaran Eropa-Indonesia bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan bisa bulanan.
Anak-anak berdarah campuran seperti Anna, jika lahir dari seorang gundik pribumi dan tidak diakui oleh ayahnya yang Eropa, biasanya terbuang dari lingkungannya. Di lingkungan pribumi, ibu dan anak yang tidak diakui ini dianggap hina karena sudah melacurkan diri pada “kafir” (begitu mereka menyebut orang Eropa ketika itu). Sedangkan di lingkungan Eropa, status mereka sudah diingkari oleh sang ayah. Akibatnya, ibu dan anaknya malu berbaur dengan penduduk lain. Tersisih dari lingkungan dan keluarga. Bisa diduga, mereka hidup melarat. Solusinya, ibu dan anak lalu menjadi pembantu atau terjerat dalam dunia prostitusi. Mau bagaimana lagi? Cuma itu jalan demi menyambung hidup.

 Melihat nasib Anna, saya tidak bisa membayangkan bagaimana seorang anak perempuan (jika benar saat itu masih 13 tahun) harus terdampar di negeri asing dan harus mengatasi kerasnya kehidupan...sendirian! Di usia semuda itu berpetualang tanpa bimbingan. Menjadi babu, pelacur, bahkan dituduh mencuri.
Di mata saya, Anna bukanlah sekedar model telanjang pelukis Paul Gauguin. Tapi Anna juga adalah potret kelabu perempuan Indonesia yang senasib dengannya, bahkan sampai sekarang. Terseret ke dunia hitam dan perbudakan di negeri orang, tanpa pembelaan dan perlindungan dari otoritas yang seharusnya bisa melindungi nasib wanita.

Ternyata, nasib yang dialami Anna bukan hanya terjadi di abad ke-19 saja. Bahkan dua abad sesudahnya, sampai sekarang, cerita yang sama belum juga sampai pada episode akhir.
Itu tadi Anna di abad 19. Sekarang abad 21. Untuk bertahan hidup, masih banyak para perempuan dan kaum ibu di Indonesia yang tidak punya banyak pilihan. Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan pembantu...bagaimana pun banyak gadis dan kaum ibu yang terpaksa bekerja sebagai pembantu ke luar negeri, karena terdesak keadaan. Tampaknya pemerintah masih perlu bekerja keras untuk mengatasi masalah yang seperti tak ada habisnya ini.
Di beberapa literatur, saya membaca, bahwa di abad 17, para pendatang asing di Batavia bisa membeli budak-budak wanita pribumi yang diperdagangkan secara berkeliling oleh saudagar Arab. Di abad 17, ketika orang belum peka akan hak asasi manusia, dan perbudakan belum dihapuskan, mungkin kondisi ini belum dipandang tak manusiawi di jaman itu.


Tapi sekarang? Ketika nurani dituntut untuk lebih peka, ketika di mana-mana digencarkan kampanye tentang hak asasi manusia? Ironisnya, walau sejak beberapa abad lalu perbudakan telah dihapuskan, eksploitasi ini cuma berubah dalam hal gaya. Dulu wanita pribumi diperdagangkan oleh saudagar Arab di abad 17. Sekarang mereka dikirim kantor penyalur tenaga kerja ke Arab Saudi dan negara lainnya. Dramanya masih sama. Masih tentang perempuan korban pelecehan seksual, pemerasan, penipuan bahkan pembunuhan. Nasib korbannya dari dulu sampai sekarang, juga tak berubah. Tetap minim perlindungan.
Menyelamatkan perempuan dan kaum ibu Indonesia dari perbudakan di negeri asing, sama dengan mengangkat harkat, martabat, dan harga diri bangsa di dunia internasional.

Sumber

ARTIKEL TERBARU

0 Response to "Kisah Babu Bugil di Paris, Anna the Javanese"

Posting Komentar

::: TErima KAsih Anda Telah Memberi Komentar :::