Cari Artikel Disini

Jejak - Jejak Penari Jawa Di Mata Hari

IkadaNews - Terpukau kagum. Begitu reaksi pengunjung di pameran dunia di Paris tahun 1889. Gemulai tari gadis-gadis Jawa berkulit gelap itu, membuat terpana para penonton yang umumnya bermata biru dan berambut pirang. Di abad ke-19 di Eropa, pertunjukan dari “dunia berkabut misteri” seperti Jawa, bukanlah pemandangan biasa bagi publik barat.

  Tari Jawa di pameran dunia di Paris 1889 yang ditonton Gauguin

Penampilan gadis-gadis Jawa di atas memang istimewa. Karena, itulah saat pertama kali dunia menyaksikan seni dari Jawa di pameran dunia yang dilangsungkan di Paris tahun 1889.
Tak berselang lama sesudahnya, Anna ditampilkan dengan konotasi “Jawa” oleh pelukis dunia asal Paris, Paul Gauguin. Ini seakan gambaran situasi jaman itu, tentang daya tarik eksotisme “Oost Indie”/Hindia Timur (belum bernama Indonesia), mulai tampil ke pentas seni dunia di abad 19. Bukan tidak mungkin, antusiasme Gauguin terhadap kultur Jawa, terinspirasi oleh pameran dunia di Paris tahun 1889 tadi.
Di pameran dunia itu, setiap negara mengirim utusannya. Termasuk Belanda yang mengirim puluhan pribumi dari Jawa, daerah koloninya di Hindia Belanda/Indonesia. Ke pameran dunia di Paris itu, Belanda mengirim para penari Jawa untuk mempertontonkan kebolehannya di depan masyarakat Eropa di Paris. Bahkan untuk menghidupkan suasana Jawa, juga diutus para pekerja pribumi yang ditugasi membangun miniatur kampung ala Jawa, lengkap dengan rumah dinding gedek.

 Poster pameran dunia di Paris 1889 (Wikipedia)

Citra Hindia Belanda yang ditampilkan para penari Jawa di abad 19 di Paris itu, lengkap dengan atmosfir miniatur desa sebagai dekorasi, sungguh memikat dunia barat. Pentas seni itu seakan membuka mata mereka tentang dunia yang “hilang”. Pentas tari Jawa dengan gamelan itu bagi mereka nampak bagai dunia mimpi. Kultur “Java” lalu mulai populer di dunia barat, tidak terbatas di kalangan orang Belanda saja.
Gauguin yang menghadiri pameran itu, seperti penonton lain, dibuat terpesona. Dia mengumpulkan kartu pos tentang kultur Jawa. Bisa jadi, karena itu juga, membuat Gauguin tertarik membubuhi kata “Jawa” untuk judul lukisannya, “Anna The Javanese”.
Gambar kartu-kartu pos itu kemudian mempengaruhi beberapa lukisannya. Tentang Anna The Javanese dalam lukisan Gauguin, disebut oleh Matthew Isaac Cohen, “Anna tampak bagai sosok patung Jawa klasik”. Selain lukisan Anna yang tampak bagai arca candi, masih ada beberapa lukisannya yang dipengaruhi bentuk patung di candi Borobudur.

Lukisan Gauguin, terinspirasi gambar Candi Borobudur


Mata Hari
Misi budaya Jawa yang datang ke Paris mengilhami beberapa seniman Eropa untuk memberi sentuhan timur dalam karyanya. Gauguin melalui lukisan “Anna The Javanese”, adalah satu di antaranya. Seni timur mulai dilirik, populer, dan menjadi trend di dunia barat.
Tidak percuma Belanda mengirim keempat gadis penari Jawa tadi ke pameran dunia di Paris. Jejak para gadis penari Jawa itu tetap terasa gemanya dan ikut mengangkat populernya seni dari tanah Hindia Belanda di Paris.
Kira-kira satu dekade sesudah pagelaran tari Jawa di pameran dunia di Paris di abad 19 itu, pesona seni timur kembali menggebrak Paris. Si penggebrak sensasional itu, dikenal dengan nama Mata Hari.
Ya, Mata Hari seakan meneruskan jejak gadis penari Jawa tadi. Yaitu menghidupkan aura eksotisme timur di Paris khususnya dan Eropa umumnya. Siapa tak kenal penari erotis asal Belanda, yang juga dikenal sebagai agen rahasia atau mata-mata ini?


Ya, di Paris, aura eksotisme Jawa diangkat oleh Mata Hari (Wikipedia menuliskan ejaan namanya “Mata Hari”, bukan “Matahari”). Nama aslinya, Margaretha Geertruida Zelle, sering dipanggil dengan nama Griet atau Grietje, sebelum kelak populer dengan nama Mata Hari.
Griet lahir dan tumbuh di Leeuwarden, Belanda. Sumber resmi menyebut orangtuanya berasal dari Belanda. Namun penampilan fisiknya yang tidak mirip orang Belanda pada umumnya, menimbulkan desas desus, ibunya adalah Indo (campuran Belanda Jawa). Namun tak ada konfirmasi yang membenarkan desas desus ini. Ada juga yang menduga, mungkin Griet berdarah Yahudi.
Pada usia 19 tahun, Griet menikah dengan perwira KNIL keturunanan Skotlandia, yang lalu memboyongnya ke Indonesia di tahun 1897. Di Indonesia, dia sempat tinggal selama lima tahun. Griet tercatat pernah tinggal di Malang-Jawa Timur, di Sindanglaya-Jawa Barat, dan pernah mengunjungi Medan. Griet alias Mata Hari juga diberitakan pernah menginap di Hotel de Boer di Medan.

 Hotel “de Boer” Medan, tempat Mata Hari pernah menginap

Suaminya tempramental dan anak pertamanya meninggal di Jawa. Dengan kondisi pernikahan yang sangat buruk, keduanya memutuskan kembali ke Belanda, lalu mengurus perceraian. Sesudah bercerai, anak keduanya juga meninggal di Belanda. Griet yang terpukul lalu berniat membangun hidup baru di Paris.
Datang ke Paris sebagai pengangguran, bokek, dan ketrampilan pas-pasan, dia mencoba mengadu nasib. Beberapa pekerjaan dicobanya. Antara lain sebagai model lukis, penari ular, bahkan pelacur di rumah bordil elit. Semua itu tampaknya belum mendatangkan hasil maksimal. Dia memutar otak. Apa lagi yang bisa dilakukannya? Kalau sekedar menari telanjang, di masa itu sudah ada beberapa yang melakukannya. Supaya tidak kalah saing, dia harus tampil beda.
Griet lalu menggunakan kepopuleran eksotisme timur yang mulai dilirik Eropa. Ya, kenapa dia tidak memanfaatkan pengalamannya selama di Indonesia? Itu lalu dijadikannya modal untuk membangun domein-nya sebagai penari timur.


Di Jawa memang dia kerap menghadiri pertemuan yang menyuguhkan beberapa pentas seni. Ini sangat mengesankannya dan melekat dengan baik di memorinya. Ketika tinggal di Indonesia, dia berpakaian tradisonal seperti wanita Jawa. Dia juga sudah mengunjungi beberapa candi.
Berbekal itu semua, ditambah kreativitasnya, dia lalu memodifikasi kostum tari yang terilhami kultur Hindu di Jawa. Koreografi tarinya yang bergaya timur dikreasinya sendiri. Walau banyak kalangan meragukan kemampuan menarinya, namun Mata Hari punya opini yang cukup filosofis tentang tarian. Saya tertarik mengutip kalimat Mata Hari, “Tarian adalah sebuah puisi, yang setiap geraknya adalah sebuah kata”.
Untuk semakin mengukuhkan citra penari timur itu, dia memakai nama panggung berbau timur, kata yang pernah dikenalnya ketika dulu menetap di Hindia Belanda. Ya, Griet menamakan dirinya “Mata Hari”. Gebrakannya dengan penampilan timur dan nama timur itu terbukti ampuh menarik perhatian publik. Mata Hari berhasil menciptakan daya tarik bak magnet. Di Paris, Mata Hari yang tadinya bukan siapa-siapa, perlahan tapi pasti, bermetamorfose menjadi selebritis.
Mata Hari juga mendongkrak citra dirinya yang semakin membuat orang penasaran ingin menyaksikan pentasnya. Rasa penasaran orang terhadapnya lebih dikarenakan cara Mata Hari mengiklankan dirinya dengan cerita yang konon banyak ngibul-nya. Misalnya, bualannya bahwa dia pernah belajar menari Jawa di Indie (maksudnya Hindia Belanda). Dia juga mencitrakan dirinya berasal dari kasta Brahmana dan putri seorang pangeran. Boleh jadi ini taktik “marketing” Mata Hari, untuk memancing keingintahuan orang agar tertarik membeli tiket masuk untuk pertunjukan tarinya.


Kemampuan menari Mata Hari sendiri, dinilai tidak istimewa. Kenyataannya, dia memang tidak pernah belajar menari Jawa dan memang tidak bisa menari Jawa. Gerak tarinya adalah karangannya sendiri. Kostum tari rancangannya adalah rekaannya dan tafsirannya sendiri tentang kostum bernuansa timur.
Satu-satunya modal utamanya adalah dia pernah menyaksikan tari-tarian Jawa langsung di Jawa. Pengalaman ini dimanipulasi Mata Hari dan membuatnya eksklusif. Di masa itu, di Eropa, mana ada penari erotis lain yang punya pengalaman ke Jawa seperti Mata Hari?
Walau minim pengetahuan tentang seni tari dari timur, toh, Mata Hari tetap nekad tampil sebagai penari timur. Dengan kostum timur, sensualitas timur yang ditampilkannya, serta segala bualan berlatar belakang timur tentang dirinya, Mata Hari berhasil menularkan virus pesona timur di dunia barat. Melalui Mata Hari yang kerap diundang pentas ke beberapa negara di Eropa, seni dari timur semakin digandrungi dunia barat.
Mata Hari pun menjadi penari favorit dan menjadi buah bibir di mana-mana. Tujuannya untuk membangun citra sebagai penari timur terkabul sudah.


Citra ini membuat namanya semakin melambung nyaris tak tersaingi. Hal itu turut ditunjang oleh daya tarik fisiknya yang tidak mirip dengan penari Eropa lainnya di masa itu. Kulitnya yang agak kecoklatan membuatnya kecantikannya terkesan eksotis di mata orang Eropa. Rambutnya panjang, hitam legam, dan lebat. Kerlingan matanya yang berwarna gelap, sungguh menggoda. Bibirnya penuh, merah merekah. Mata Hari bagai mampu menghidupkan kembali dewi Hindu cantik yang selama ini hanya ada di fantasi orang-orang Eropa.
Gaya hidupnya yang mewah membuatnya tergoda untuk berpetualang dari lelaki satu ke lelaki lain yang siap membayarnya dengan harga tinggi. Pelacuran yang tadinya dilakukannya karena desakan ekonomi, kini dilakukannya demi pemenuhan gaya hidupnya. Petualangan Mata Hari tidak saja sebagai penari, tapi juga pelacur “high-class”. Dia menjadi penakluk pria-pria kalangan atas, terutama para pejabat militer. Mata Hari memang mengakui sendiri, dia sangat tergila-gila pada “perwira-perwira berseragam”.
Lingkungan pergaulannya dengan para perwira tinggi itu, kemudian menyeretnya terlibat dalam kegiatan spionase. Seperti namanya, Mata Hari menjadi mata-mata.
Kata Mata Hari, “Saya adalah wanita yang sangat menikmati diri, kadang menang dan kadang menanggung kekalahan”. Jika tadinya kepopulerannya membuat hidupnya berjalan mulus, kali ini dia harus kalah pada jalan kehidupan. Mata Hari tak berkutik lagi, ketika dirinya tersandung kasus berat. Pemerintah Perancis mendakwanya dengan tuduhan sebagai agen mata-mata ganda untuk Jerman dan Perancis. Tuduhan itu fatal. Akibatnya, 15 Oktober 1917 jam 04.00 subuh, Mata Hari dihukum mati di hadapan regu tembak.

 Film eksekusi tembak mati Mata Hari

Ada dugaan bahwa tuduhan terhadap Mata Hari terlalu mengada-ada. Beberapa kalangan menuduh dakwaan terhadap Mata Hari disebabkan beberapa pejabat tinggi Perancis butuh kambing hitam untuk menutupi kesalahan mereka sendiri dalam perang. Tuduhan terhadap Mata Hari hingga kini masih merupakan misteri. Karena dokumen tentang Mata Hari baru diperbolehkan dibuka tahun 2017 (100 tahun setelah kematiannya).
Mata Hari bukan pahlawan. Juga bukan teladan. Namun hidupnya sekaligus kematiannya menjadi kisah yang tak pernah lenyap. Secara tak sengaja, Mata Hari ikut menghidupkan sebuah legenda yang tak pernah padam di mata barat, yaitu tentang sisi eksotisme pesona timur. Dengan nama Indonesia yang disandangnya sebagai nama populernya, “Mata Hari”, seluruh dunia tahu dari mana bahasa itu berasal.

Sumber

ARTIKEL TERBARU

0 Response to "Jejak - Jejak Penari Jawa Di Mata Hari"

Posting Komentar

::: TErima KAsih Anda Telah Memberi Komentar :::